Blogger Templates

Senin, 19 November 2012

Aku, Kamu, dan Dia


“Kamu egois! Apa yang kamu pingin harus selalu terpenuhi! Egois! Aku benci kamu!” serunya berapi – api. Aku mencoba membela diri tapi tak sekalipun dia memberiku celah untukku berbicara. Dia membentakku, mencaciku, dan aku hanya bisa terdiam. “Sekarang maumu apa?” tanyanya setelah emosinya mereda. Aku menatapnya dan tetap terdiam. “Kamu kenapa diam? Gak bisa jawab? Kamu emang beneran egois ya!” bentaknya lagi.
****
            “Lex, dengerin aku dulu!” teriakku sambil mengejar Alex. Dia tak menggubrisku dan terus berjalan. Aku berlari mengejarnya. Berkat rasa ibanya, dia berhenti dan menoleh ke arahku. “Ada apa?” tanyanya. “Aku cuma mau jelasin masalah kemarin. Plis dengerin aku Lex.” pintaku memelas. “Oke 5 menit.” jawabnya singkat.
            “Waktu itu aku lagi sibuk Lex. Aku ada tugas kelompok dan harus bantu Mama. Kamu tau kan di rumahku lagi ada acara? Iya aku minta maaf aku gak bisa nemenin kamu jalan kemarin. Maaf Sayang.” ucapku panjang lebar. “Itu alasan basi.” jawabnya ketus seraya meninggalkanku begitu saja. Lagi – lagi aku hanya bisa diam.
****
            “Lex, temenin aku cari buku yuk. Aku lagi ada tugas nih.” pintaku manja. “Oke.” jawabnya. Setelah seharian mengitari toko buku kamipun makan di salah satu restoran dekat toko buku. “Kamu pesen apa Lex?” tanyaku. Dia hanya terdiam. Akhirnya aku yang memilihkan menu untuknya. “Kamu gak tau malu ya?” ucapnya tajam. “Maksudmu apa Lex!” bentakku. “Aku selalu nemenin kamu. Kemanapun kamu mau aku pasti nyempetin waktu buat kamu. Sedangkan kamu apa? Selalu ada aja alasan buat gak nemenin aku.” ujarnya. Aku tercengang mendengar pertanyaannya. “Tugas dan Mamamu yang selalu kamu jadikan buat nolak ajakanku.” lanjutnya. “Lex, aku nolak ajakanmu bukan karena aku gak mau Lex. Karena aku emang gak bisa. Kamu juga tau sendiri kan Mamaku kayak gimana? Mamaku banyak kegiatan di rumah, Lex. Aku harus bantu dia. Gak mungkin aku ninggalin Mama sendiri.” jelasku panjang lebar. “Iya aku tahu. Kalimat itu yang selalu kamu jadikan alasan.” jawabnya. “Aku gak sedang beralasan Lex! Ini kenyataannya!” bentakku kesal. Dia hanya terdiam.
****
            Aku membanting Hpku ke kasur. Lalu memukul- mukul bantal yang ada disebelahku. “Sebeeellllllllll!” teriakku. Beruntung sedang tidak ada orang di rumah. Aku mengambil Hpku dan mencoba menghubungi Alex. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” ucap si operator. Kalimat itu yang aku dengar dari tadi. Aku makin gelisah. Kemana sebenarnya Alex? Sudah 2 hari dia menghilang, tanpa mengabariku. Air mataku perlahan menetes.


            “Ada apa?” tanyanya. Raut mukanya datar, nyaris tak berekspresi. Ingin sekali aku memukulnya saat itu. Mencacinya. “Aku khawatir Lex sama kamu. 2 hari kamu ngilang. Gak kabarin aku. Kamu kemana aja sih Lex?” ujarku menahan tangis. “Maaf.” jawabnya singkat. “Jelasin Lex.” ucapku. “Aku habis hiking sama temen – temen.” jawabnya. “Kamu hiking? Dan gak ngabarin aku? Terus kamu nganggep aku apa?” tanyaku berapi -  api. “Iya maaf.” jawabnya singkat. Aku berusaha sekuat mungkin agar emosi dan air mata tidak keluar dan membuat suasana makin kacau. Aku hanya diam, membisu.
****
            “Aku hanya tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Dia menghilang, membuatku khawatir, dan yang keluar dari mulutnya hanya kata maaf. Sebenarnya dimana letak hati nuraninya!” ujarku berurai air mata. Dien memelukku, menenangkanku. Aku tak bisa menahan air mata. Aku menangis sekeras – kerasanya dalam pelukannya. Dien, dialah sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri. Dia yang selalu ada untukku. Saat senang ataupun susah. Aku mengenalnya dari bangku SD, dan bersahabat dengannya hingga detik ini. Dien begitu lembut. Aku merasa memiliki 2 mama. Mamaku dan Dien. “Sudah Liv. Kamu harus menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.” ujarnya lembut sembari mengusap air mataku. Aku memeluknya erat. Lebih erat.
****
            Apa mungkin dengan menyakitiku membuat dia bahagia? Apa mungkin caranya membahagiakan aku dengan membuatku menangis? Apa mungkin selama ini aku tidak membahagiakan dia? Sederet pertanyaan menghantui pikiranku. Aku melirik jam tanganku. Pukul 19.30 WIB. Sudah 30 menit aku disini. Menunggunya. Ada yang ingin dia bicarakan. Penting. “Hai.” sapanya membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum kepadanya.
            “Liv, aku mau hubungan kita sampai sini aja.” ucapnya tajam. Air mataku menetes. Deras. ”Alasannya?” tanyaku terbata – bata. “Aku bosen. Aku capek kayak gini. Mending diakhiri aja.” jawabnya. “Kurangku apa Lex sama kamu?” tanyaku. Dia terdiam. “Maaf.” ucapnya seraya meninggalkanku. Sekarang yang tersisa tinggal kenangan. Ah, aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku harus menyelesaikan ini, tekadku.

            “Mau ya ke tempat kita biasanya. Nanti malem. Ada yang mau aku omongin nih.” pintaku. “Aku gak bisa.” jawabnya. “Yaudah bisamu kapan?” tanyaku. “Aku gak bisa. Gak akan bisa.” jawabnya. “Ayo lah. Please.” pintaku terus memaksa. “Gak bisa ya gak bisa. Kamu kenapa maksa sih!” bentaknya. Aku tercengang melihat sikapnya saat ini. Kasar. “Dulu waktu kamu minta kita ketemuan aku selalu menyanggupi. Tapi giliran aku yang minta ketemuan, selalu aja ada banyak alasan. Tugas, bantu mama, inilah, itulah. Satu lagi, inget! Kita sudah bukan apa – apa lagi. Gak sepantasnya kamu maksa aku buat nurutin kemauanmu!” bentaknya lagi. “Aku bener – bener gak habis pikir sama kamu. Masalah itu lagi yang kamu ungkit. Oke kalau emang kamu bener – bener pingin kita berakhir. Aku turuti!” bentakku. Aku berlari meninggalkannya.
            Aku berlari menuju taman. Disana sudah ada Dien yang siap menampung air mataku. Begitu tiba di taman, aku menjatuhkan diriku dipelukan Dien. “Dien.” ucapku sesenggukan. Dia memelukku. “Kamu gak harus cerita sekarang kok Liv. Tenangin dirimu dulu.” ujarnya lembut.
            Setelah emosiku mereda, aku menceritakan semuanya ke Dien. “Sudahlah Liv. Kalau dia cukup bodoh meninggalkanmu, kamu harus cukup pintar melepaskan dia. Kalau kamu memang tulang rusuknya, percaya deh. Kamu bakal kembali lagi ke dia. Buat apa kamu nangisin dia? Gak ada gunanya Liv. Yang sayang sama kamu banyak. Bukan dia aja.” nasihat Dien panjang lebar. Aku termenung. Tidak, dia tidak menyakitiku. Dia membahagiakan aku. Mungkin dengan cara seperti aku bisa belajar mendewasakan diri. Iya, aku bahagia. Terima kasih Lex.
            Aku menatap Dien. Tersenyum, lalu memeluknya erat. “Terima kasih Dien.” ucapku sambil mengajaknya beranjak dari tempat ini. “Pasti mau beli es krim?” tanya Dien. Aku tertawa. “Tentu saja.” jawabku.
            Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB. Aku berlari menuju ruangan ujian berlangsung. Hari ini adalah try out pertamaku di lembaga bimbingan belajar ini. Setelah dipersilahkan masuk, aku mengatur nafasku yang tak beraturan.
            Aku mulai mengerjakan soal – soal itu. “Boleh pinjam penghapus?” tanya seorang lelaki disampingku. “Oh, tentu saja.” jawabku. “Terima kasih.” ucapnya. Aku meliriknya sekilas. Ada apa ini? batinku.
****
            “Hai.” sapa lelaki tadi setelah ujian selesai. “Hai juga.” jawabku sedikit gugup. “Kenalin, aku Mike. Kamu?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya. Tinggi, putih, tampan, dan senyumnya. Oh God ! “Hai? Kamu lagi ngeliatin apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku. “Ah, enggak. Bukan apa – apa kok” jawabku panik. “Kamu belum jawab pertanyaanku. Namamu?” tanyanya lembut. “Olive.” jawabku. “Nama yang cantik, kayak orangnya.” godanya. Ahh jantungku berdegup makin tak menentu. Kalimat terakhirnya membuat ku tak bisa menahan senyumku. “Kamu pulang naik apa?” tanyanya. “Taxi.” jawabku singkat. “Bareng aku yuk.” ajaknya. Aku tersentak mendengar ajakannya. Pulang bareng? Wow.
****
            Semenjak kejadian itu aku bersemangat sekali untuk pergi ke tempat les itu. Aku yang awalnya merasa terpaksa mengikuti les ditempat ini, sekarang berubah 180° menjadi sangat bersemangat untuk pergi ke tempat ini.
            Aku selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan Mike. Sebelum ataupun sesudah jadwal les berlangsung. Kantin disana menjadi saksi bisu antara aku dan Mike. Keceriaan, canda tawa, tangis, apapun kita bagi disana. Di kantin itu.
            “Liv, aku boleh mampir ke sekolahmu gak?” tanyanya mengejutkanku. “Emang kamu mau ngapain ke sekolahku Mike?” tanyaku. “Pingin tau aja. Gapapa kan? Apa jangan – jangan ada yang marah kalau aku kesana?” tanyanya. “Tentu saja tidak.” jawabku sambil terkekeh. “Oke, besok aku kesana jam 2 siang ya?” tanyanya sambil berlalu pergi. Aku menatapnya sambil tercengang. Bagaimana dia bisa tahu jam aku pulang sekolah?
****
            Teng... Teng... Teng...
            Bel berdentang menunjukkan pukul 14.00 WIB. Aku bergegas menuju gerbang sekolah. Menunggunya.
Aku melirik jam tanganku. 14.13 WIB. Aku mengeluarkan Hpku dan mulai menekan nomornya. “Ini buat kamu.” ucap seseorang dibelakangku seraya memberi setangkai mawar merah. Kontan aku menoleh kebelakang dan mendapati Mike sudah berada disini. Kaget, terkejut, senang, kesal semua bercampur jadi satu. “Kamu suka es krim kan? Aku tau tempat makan es krim enak dideket sini. Mau?” tanyanya. Lagi – lagi dia membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? “Kamu tau darimana? Mulai dari jam pulang sekolahku, angka favoritku, hingga es krim?” tanyaku penuh keheranan. “Rahasia.” jawabnya menggodaku. “Mikeeee! Jawab gak!” ujarku kesal. “Mau es krim gak?” tanyanya lagi. “Aku gak bisa Mike.” Jawabku. “Kenapa?” tanyanya memelas. “Gak bisa nolak.” jawabku seraya berlari meninggalkannya. Aku melihat senyum itu tersungging di bibirnya. Manis.

“Mike baik banget, Dien. Dia tau semua tentang aku. Mulai dari jam pulang sekolah, hingga es krim. Dan dia anaknya asik banget. Kalau aku ngambek, dia pasti ngerayu. Hahaha konyol kan? Gak kayak Alex dulu. Kalau aku ngambek pasti dia ikutan ngambek.” ceritaku panjang lebar. Dien tersenyum. “Jangan membandingkan Alex dan Mike. Karena mereka memang 2 orang yang berbeda.” ujarnya lembut. “Siap bos.” jawabku menggodanya. “Oh iya, aku bahagia deh kalau didekatnya, Dien. Dia itu...” ucapku. “Apa?” tanya Dien. “Mempesona.” jawabku terkekeh.
****
“Ntar malem kamu ada acara gak?” tanya Mike. “Emmmm?” jawabku sedikit menggodanya. “Serius nih Liv.” ujarnya serius. “Iya, iya. Gitu aja ngambek. Nggak ada sih kayaknya. Emang kenapa Mike?” tanyaku. “Mau gak ntar makan malam bareng aku?” tanyanya membuatku melongo. “Apa? Aku gak salah denger nih Mike?” tanyaku lagi. “Iya. Aku serius ini. Apa aku perlu minta izin ke orang tuamu sekalian?” ucapnya. “Oh, gak perlu kok Mike.” jawabku terkekeh. “Oke aku jemput jam 7 malem ya?” tanya Mike. “Oke.” jawabku tersipu. Mike mengajakku makan malam? Ada apa ini? Jantungku kembali berdegup seperti saat pertama kalinya aku berbicara dengan Mike. Oh God! Ini bukan mimpi kan?
            “Ma, bantuin aku dong.” pintaku. “Bantu apa sayang?” tanya Mama lembut. “Nanti malem aku diajak temenku makan malam. Bantuin pilih baju ya Ma.” ujarku tersipu. “Temen apa temen?” tanya Mama menggodaku. “Ah Mama. Jangan gitu. Aku malu Ma. Ayo bantuin pilih baju Ma.” pintaku manja. “Iya iya.” jawab Mama lembut. Papa yang melihat aku dan Mama jadi penasaran. “Ada apa ini?” tanya Papa. “Ini loh Pa. Anak kita ini mau kencan.” ujar Mama membuatku tersipu malu. “Ah enggak kok Pa. Cuma makan malam biasa. Sama temen.” ujarku. “Ah masak sih?” goda Papa. “Papaaaaa.” ucapku makin tersipu.
****
Waktu menunjukkan pukul 18.50 WIB. 10 menit lagi Mike akan tiba. Jantungku mulai berdegup tak menentu. Aku berusaha menenangkan diri. Tapi sia – sia. Mama dan Papa memelukku. Seolah mengerti kegugupanku. “Gak usah gugup gitu dong Sayang.” ucap Mama seraya membelai lembut rambutku. “Iya. Dulu aja waktu Papa ngajak Mama dinner, Papa santai aja tuh.” goda Papa. “Mama Papa.” ucapku tersipu.

Tok...Tok...Tok...
“Itu pasti orangnya.” ucap Mama seraya membukakan pintu. Jantungku kembali berdetak tak beraturan. Setelah berbincang sebentar dengan Mama Papa, kamipun pamit. “Jangan pulang diatas jam 9 malam. Ingat!” ujar Papa mewanti – wanti. “Pasti Om.” ucap Mike mantap. Kamipun berangkat. Selama perjalanan aku hanya diam, berusaha menutupi kegugupanku. Diapun sepertinya sama.
Sesampainya disana, Mike memesankan makanan favoritku. Aku memperhatikannya. Gayanya simple namun menawan. “Aku jelek ya pake baju ini?” tanyanya mengejutkanku. “Enggak kok.” Jawabku seraya tersenyum kepadanya. “Kamu cantik Liv.” pujinya. Aku tersenyum manis. Ah Mike. “Mike.” ucapku. “Iya?” tanyanya lembut. “Selama ini kamu baik banget sama aku. Kamu bikin aku bahagia Mike. Padahal kita baru kenal kan?” ujarku. Dia tersenyum padaku. “Tapi aku gak pernah kasih kamu apa – apa Mike. Aku gak bahagiain kamu.” ujarku lagi, kali ini aku tak kuasa menahan air mataku. Aku takut tidak membahagiakan Mike seperti Alex dulu. Aku tidak ingin.
Mike menghapus air mataku lembut. “Kamu kenapa nangis Liv. Nanti cantiknya luntur loh.” godanya membuatku tersipu. “Kata siapa kamu gak pernah bahagiain aku? Duduk disampingmu kayak gini aja, udah lebih dari cukup buat aku. Aku bahagia Liv.” ucapnya seraya membelai lembut rambutku. Matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada keraguan disana. Ya, sekarang aku mengerti. Bahagia itu sederhana.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar