“Kamu
egois! Apa yang kamu pingin harus selalu terpenuhi! Egois! Aku benci kamu!”
serunya berapi – api. Aku mencoba membela diri tapi tak sekalipun dia memberiku
celah untukku berbicara. Dia membentakku, mencaciku, dan aku hanya bisa
terdiam. “Sekarang maumu apa?” tanyanya setelah emosinya mereda. Aku menatapnya
dan tetap terdiam. “Kamu kenapa diam? Gak bisa jawab? Kamu emang beneran egois
ya!” bentaknya lagi.
****
“Lex, dengerin aku dulu!” teriakku
sambil mengejar Alex. Dia tak menggubrisku dan terus berjalan. Aku berlari
mengejarnya. Berkat rasa ibanya, dia berhenti dan menoleh ke arahku. “Ada apa?”
tanyanya. “Aku cuma mau jelasin masalah kemarin. Plis dengerin aku Lex.” pintaku
memelas. “Oke 5 menit.” jawabnya singkat.
“Waktu itu aku lagi sibuk Lex. Aku
ada tugas kelompok dan harus bantu Mama. Kamu tau kan di rumahku lagi ada
acara? Iya aku minta maaf aku gak bisa nemenin kamu jalan kemarin. Maaf
Sayang.” ucapku panjang lebar. “Itu alasan basi.” jawabnya ketus seraya
meninggalkanku begitu saja. Lagi – lagi aku hanya bisa diam.
****
“Lex, temenin aku cari buku yuk. Aku
lagi ada tugas nih.” pintaku manja. “Oke.” jawabnya. Setelah seharian mengitari
toko buku kamipun makan di salah satu restoran dekat toko buku. “Kamu pesen apa
Lex?” tanyaku. Dia hanya terdiam. Akhirnya aku yang memilihkan menu untuknya.
“Kamu gak tau malu ya?” ucapnya tajam. “Maksudmu apa Lex!” bentakku. “Aku
selalu nemenin kamu. Kemanapun kamu mau aku pasti nyempetin waktu buat kamu.
Sedangkan kamu apa? Selalu ada aja alasan buat gak nemenin aku.” ujarnya. Aku
tercengang mendengar pertanyaannya. “Tugas dan Mamamu yang selalu kamu jadikan
buat nolak ajakanku.” lanjutnya. “Lex, aku nolak ajakanmu bukan karena aku gak
mau Lex. Karena aku emang gak bisa. Kamu juga tau sendiri kan Mamaku kayak
gimana? Mamaku banyak kegiatan di rumah, Lex. Aku harus bantu dia. Gak mungkin
aku ninggalin Mama sendiri.” jelasku panjang lebar. “Iya aku tahu. Kalimat itu
yang selalu kamu jadikan alasan.” jawabnya. “Aku gak sedang beralasan Lex! Ini
kenyataannya!” bentakku kesal. Dia hanya terdiam.
****
Aku membanting Hpku ke kasur. Lalu
memukul- mukul bantal yang ada disebelahku. “Sebeeellllllllll!” teriakku.
Beruntung sedang tidak ada orang di rumah. Aku mengambil Hpku dan mencoba
menghubungi Alex. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” ucap si operator.
Kalimat itu yang aku dengar dari tadi. Aku makin gelisah. Kemana sebenarnya
Alex? Sudah 2 hari dia menghilang, tanpa mengabariku. Air mataku perlahan
menetes.
“Ada apa?” tanyanya. Raut mukanya
datar, nyaris tak berekspresi. Ingin sekali aku memukulnya saat itu.
Mencacinya. “Aku khawatir Lex sama kamu. 2 hari kamu ngilang. Gak kabarin aku.
Kamu kemana aja sih Lex?” ujarku menahan tangis. “Maaf.” jawabnya singkat.
“Jelasin Lex.” ucapku. “Aku habis hiking
sama temen – temen.” jawabnya. “Kamu hiking?
Dan gak ngabarin aku? Terus kamu nganggep aku apa?” tanyaku berapi - api. “Iya maaf.” jawabnya singkat. Aku
berusaha sekuat mungkin agar emosi dan air mata tidak keluar dan membuat
suasana makin kacau. Aku hanya diam, membisu.
****
“Aku hanya tidak habis pikir dengan
jalan pikirannya. Dia menghilang, membuatku khawatir, dan yang keluar dari
mulutnya hanya kata maaf. Sebenarnya dimana letak hati nuraninya!” ujarku
berurai air mata. Dien memelukku, menenangkanku. Aku tak bisa menahan air mata.
Aku menangis sekeras – kerasanya dalam pelukannya. Dien, dialah sahabat yang
sudah kuanggap saudaraku sendiri. Dia yang selalu ada untukku. Saat senang ataupun
susah. Aku mengenalnya dari bangku SD, dan bersahabat dengannya hingga detik
ini. Dien begitu lembut. Aku merasa memiliki 2 mama. Mamaku dan Dien. “Sudah
Liv. Kamu harus menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.” ujarnya lembut
sembari mengusap air mataku. Aku memeluknya erat. Lebih erat.
****
Apa mungkin dengan menyakitiku
membuat dia bahagia? Apa mungkin caranya membahagiakan aku dengan membuatku
menangis? Apa mungkin selama ini aku tidak membahagiakan dia? Sederet
pertanyaan menghantui pikiranku. Aku melirik jam tanganku. Pukul 19.30 WIB.
Sudah 30 menit aku disini. Menunggunya. Ada yang ingin dia bicarakan. Penting. “Hai.”
sapanya membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum kepadanya.
“Liv, aku mau hubungan kita sampai
sini aja.” ucapnya tajam. Air mataku menetes. Deras. ”Alasannya?” tanyaku
terbata – bata. “Aku bosen. Aku capek kayak gini. Mending diakhiri aja.”
jawabnya. “Kurangku apa Lex sama kamu?” tanyaku. Dia terdiam. “Maaf.” ucapnya
seraya meninggalkanku. Sekarang yang tersisa tinggal kenangan. Ah, aku tidak
terima diperlakukan seperti ini. Aku harus menyelesaikan ini, tekadku.
“Mau ya ke tempat kita biasanya.
Nanti malem. Ada yang mau aku omongin nih.” pintaku. “Aku gak bisa.” jawabnya. “Yaudah
bisamu kapan?” tanyaku. “Aku gak bisa. Gak akan bisa.” jawabnya. “Ayo lah. Please.” pintaku terus memaksa. “Gak
bisa ya gak bisa. Kamu kenapa maksa sih!” bentaknya. Aku tercengang melihat
sikapnya saat ini. Kasar. “Dulu waktu kamu minta kita ketemuan aku selalu menyanggupi.
Tapi giliran aku yang minta ketemuan, selalu aja ada banyak alasan. Tugas,
bantu mama, inilah, itulah. Satu lagi, inget! Kita sudah bukan apa – apa lagi.
Gak sepantasnya kamu maksa aku buat nurutin kemauanmu!” bentaknya lagi. “Aku
bener – bener gak habis pikir sama kamu. Masalah itu lagi yang kamu ungkit. Oke
kalau emang kamu bener – bener pingin kita berakhir. Aku turuti!” bentakku. Aku
berlari meninggalkannya.
Aku berlari menuju taman. Disana
sudah ada Dien yang siap menampung air mataku. Begitu tiba di taman, aku
menjatuhkan diriku dipelukan Dien. “Dien.” ucapku sesenggukan. Dia memelukku.
“Kamu gak harus cerita sekarang kok Liv. Tenangin dirimu dulu.” ujarnya lembut.
Setelah emosiku mereda, aku
menceritakan semuanya ke Dien. “Sudahlah Liv. Kalau dia cukup bodoh
meninggalkanmu, kamu harus cukup pintar melepaskan dia. Kalau kamu memang
tulang rusuknya, percaya deh. Kamu bakal kembali lagi ke dia. Buat apa kamu
nangisin dia? Gak ada gunanya Liv. Yang sayang sama kamu banyak. Bukan dia
aja.” nasihat Dien panjang lebar. Aku termenung. Tidak, dia tidak menyakitiku.
Dia membahagiakan aku. Mungkin dengan cara seperti aku bisa belajar
mendewasakan diri. Iya, aku bahagia. Terima kasih Lex.
Aku menatap Dien. Tersenyum, lalu
memeluknya erat. “Terima kasih Dien.” ucapku sambil mengajaknya beranjak dari
tempat ini. “Pasti mau beli es krim?” tanya Dien. Aku tertawa. “Tentu saja.”
jawabku.
Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB.
Aku berlari menuju ruangan ujian berlangsung. Hari ini adalah try out pertamaku
di lembaga bimbingan belajar ini. Setelah dipersilahkan masuk, aku mengatur
nafasku yang tak beraturan.
Aku mulai mengerjakan soal – soal
itu. “Boleh pinjam penghapus?” tanya seorang lelaki disampingku. “Oh, tentu
saja.” jawabku. “Terima kasih.” ucapnya. Aku meliriknya sekilas. Ada apa ini?
batinku.
****
“Hai.” sapa lelaki tadi setelah
ujian selesai. “Hai juga.” jawabku sedikit gugup. “Kenalin, aku Mike. Kamu?”
tanyanya seraya mengulurkan tangannya. Tinggi, putih, tampan, dan senyumnya. Oh
God ! “Hai? Kamu lagi ngeliatin apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku. “Ah,
enggak. Bukan apa – apa kok” jawabku panik. “Kamu belum jawab pertanyaanku.
Namamu?” tanyanya lembut. “Olive.” jawabku. “Nama yang cantik, kayak orangnya.”
godanya. Ahh jantungku berdegup makin tak menentu. Kalimat terakhirnya membuat
ku tak bisa menahan senyumku. “Kamu pulang naik apa?” tanyanya. “Taxi.” jawabku
singkat. “Bareng aku yuk.” ajaknya. Aku tersentak mendengar ajakannya. Pulang bareng?
Wow.
****
Semenjak
kejadian itu aku bersemangat sekali untuk pergi ke tempat les itu. Aku yang
awalnya merasa terpaksa mengikuti les ditempat ini, sekarang berubah 180°
menjadi sangat bersemangat untuk pergi ke tempat ini.
Aku selalu menyempatkan diri untuk
berbincang dengan Mike. Sebelum ataupun sesudah jadwal les berlangsung. Kantin
disana menjadi saksi bisu antara aku dan Mike. Keceriaan, canda tawa, tangis,
apapun kita bagi disana. Di kantin itu.
“Liv, aku boleh mampir ke sekolahmu
gak?” tanyanya mengejutkanku. “Emang kamu mau ngapain ke sekolahku Mike?”
tanyaku. “Pingin tau aja. Gapapa kan? Apa jangan – jangan ada yang marah kalau
aku kesana?” tanyanya. “Tentu saja tidak.” jawabku sambil terkekeh. “Oke, besok
aku kesana jam 2 siang ya?” tanyanya sambil berlalu pergi. Aku menatapnya
sambil tercengang. Bagaimana dia bisa tahu jam aku pulang sekolah?
****
Teng... Teng... Teng...
Bel
berdentang menunjukkan pukul 14.00 WIB. Aku bergegas menuju gerbang sekolah.
Menunggunya.
Aku melirik jam
tanganku. 14.13 WIB. Aku mengeluarkan Hpku dan mulai menekan nomornya. “Ini
buat kamu.” ucap seseorang dibelakangku seraya memberi setangkai mawar merah.
Kontan aku menoleh kebelakang dan mendapati Mike sudah berada disini. Kaget,
terkejut, senang, kesal semua bercampur jadi satu. “Kamu suka es krim kan? Aku
tau tempat makan es krim enak dideket sini. Mau?” tanyanya. Lagi – lagi dia
membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? “Kamu tau darimana? Mulai dari jam
pulang sekolahku, angka favoritku, hingga es krim?” tanyaku penuh keheranan.
“Rahasia.” jawabnya menggodaku. “Mikeeee! Jawab gak!” ujarku kesal. “Mau es
krim gak?” tanyanya lagi. “Aku gak bisa Mike.” Jawabku. “Kenapa?” tanyanya
memelas. “Gak bisa nolak.” jawabku seraya berlari meninggalkannya. Aku melihat
senyum itu tersungging di bibirnya. Manis.
“Mike
baik banget, Dien. Dia tau semua tentang aku. Mulai dari jam pulang sekolah,
hingga es krim. Dan dia anaknya asik banget. Kalau aku ngambek, dia pasti
ngerayu. Hahaha konyol kan? Gak kayak Alex dulu. Kalau aku ngambek pasti dia
ikutan ngambek.” ceritaku panjang lebar. Dien tersenyum. “Jangan membandingkan
Alex dan Mike. Karena mereka memang 2 orang yang berbeda.” ujarnya lembut.
“Siap bos.” jawabku menggodanya. “Oh iya, aku bahagia deh kalau didekatnya,
Dien. Dia itu...” ucapku. “Apa?” tanya Dien. “Mempesona.” jawabku terkekeh.
****
“Ntar malem kamu ada acara gak?” tanya
Mike. “Emmmm?” jawabku sedikit menggodanya. “Serius nih Liv.” ujarnya serius.
“Iya, iya. Gitu aja ngambek. Nggak ada sih kayaknya. Emang kenapa Mike?”
tanyaku. “Mau gak ntar makan malam bareng aku?” tanyanya membuatku melongo.
“Apa? Aku gak salah denger nih Mike?” tanyaku lagi. “Iya. Aku serius ini. Apa
aku perlu minta izin ke orang tuamu sekalian?” ucapnya. “Oh, gak perlu kok
Mike.” jawabku terkekeh. “Oke aku jemput jam 7 malem ya?” tanya Mike. “Oke.” jawabku
tersipu. Mike mengajakku makan malam? Ada apa ini? Jantungku kembali berdegup
seperti saat pertama kalinya aku berbicara dengan Mike. Oh God! Ini bukan mimpi
kan?
“Ma, bantuin aku dong.” pintaku.
“Bantu apa sayang?” tanya Mama lembut. “Nanti malem aku diajak temenku makan
malam. Bantuin pilih baju ya Ma.” ujarku tersipu. “Temen apa temen?” tanya Mama
menggodaku. “Ah Mama. Jangan gitu. Aku malu Ma. Ayo bantuin pilih baju Ma.”
pintaku manja. “Iya iya.” jawab Mama lembut. Papa yang melihat aku dan Mama
jadi penasaran. “Ada apa ini?” tanya Papa. “Ini loh Pa. Anak kita ini mau
kencan.” ujar Mama membuatku tersipu malu. “Ah enggak kok Pa. Cuma makan malam
biasa. Sama temen.” ujarku. “Ah masak sih?” goda Papa. “Papaaaaa.” ucapku makin
tersipu.
****
Waktu
menunjukkan pukul 18.50 WIB. 10 menit lagi Mike akan tiba. Jantungku mulai
berdegup tak menentu. Aku berusaha menenangkan diri. Tapi sia – sia. Mama dan
Papa memelukku. Seolah mengerti kegugupanku. “Gak usah gugup gitu dong Sayang.”
ucap Mama seraya membelai lembut rambutku. “Iya. Dulu aja waktu Papa ngajak
Mama dinner, Papa santai aja tuh.”
goda Papa. “Mama Papa.” ucapku tersipu.
Tok...Tok...Tok...
“Itu pasti orangnya.” ucap Mama seraya
membukakan pintu. Jantungku kembali berdetak tak beraturan. Setelah berbincang
sebentar dengan Mama Papa, kamipun pamit. “Jangan pulang diatas jam 9 malam.
Ingat!” ujar Papa mewanti – wanti. “Pasti Om.” ucap Mike mantap. Kamipun
berangkat. Selama perjalanan aku hanya diam, berusaha menutupi kegugupanku.
Diapun sepertinya sama.
Sesampainya
disana, Mike memesankan makanan favoritku. Aku memperhatikannya. Gayanya simple namun menawan. “Aku jelek ya pake
baju ini?” tanyanya mengejutkanku. “Enggak kok.” Jawabku seraya tersenyum
kepadanya. “Kamu cantik Liv.” pujinya. Aku tersenyum manis. Ah Mike. “Mike.”
ucapku. “Iya?” tanyanya lembut. “Selama ini kamu baik banget sama aku. Kamu
bikin aku bahagia Mike. Padahal kita baru kenal kan?” ujarku. Dia tersenyum
padaku. “Tapi aku gak pernah kasih kamu apa – apa Mike. Aku gak bahagiain
kamu.” ujarku lagi, kali ini aku tak kuasa menahan air mataku. Aku takut tidak
membahagiakan Mike seperti Alex dulu. Aku tidak ingin.
Mike menghapus air mataku lembut. “Kamu
kenapa nangis Liv. Nanti cantiknya luntur loh.” godanya membuatku tersipu.
“Kata siapa kamu gak pernah bahagiain aku? Duduk disampingmu kayak gini aja,
udah lebih dari cukup buat aku. Aku bahagia Liv.” ucapnya seraya membelai
lembut rambutku. Matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada keraguan disana. Ya,
sekarang aku mengerti. Bahagia itu sederhana.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar