"Yasudah. Sampai
ketemu besok pagi ya." Ucapnya lembut. Walaupun hanya mendengar suaranya
diujung telpon, sudah begitu melegakanku. "Oke." Jawabku sambil
tersenyum. Bodoh. Mana bisa dia melihat senyumku?
Aku duduk didepan meja
rias yang terletak tepat disamping tempat tidurku. Menatap diriku. Ah kenapa
ada rona merah diwajahku? Aku tersipu? Iya. Walau hanya ajakan sederhana untuk
bersepeda di minggu pagi, itu terdengar sangat menyenangkan. Menurutku.
***
Jam menunjukkan pukul
05.30 WIB. Tapi belum ada pesan masuk darinya. Semalam dia berjanji untuk
menjemputku, lalu kita akan bersepeda bersama. Pasti dia kesiangan, pikirku.
Aku mengirim pesan kepadanya.
Kamu dimana?
Semenit kemudian dia membalasnya.
Di rumah.
Aku ternganga melihat balasannya. Aku menggerutu kesal sambil membalas
pesannya.
Hah? Di rumah? Kita kan janji jam 6 berangkat. Kalau jam segini kamu masih di rumah ntar kesiangan dong. Ketemu di tempat biasa aja.
Sepersekian detik kemudian hp ku berbunyi.
"Hallo?" Aku mengangkat telpon dengan
kesal.
"Kamu tunggu di rumah. Jangan berangkat.
15menit lagi aku sampai." Ucapnya terdengar buru-buru. Lalu telpon
terputus.
Uuuuh. Aku menggerutu kesal. Selalu telat, selalu keras kepala. Bagaimana mungkin, rumahku
dan rumahnya yang berjarak sekian km bisa ditempuh dalam 15menit dengan
bersepeda? Jika aku tetap ngotot berangkat duluan, kasihan dia pasti sudah mengayuh
sepedanya sekencang mungkin. Dan ketika mendapati aku sudah berangkat duluan,
pasti dia akan marah. Jadi, aku putuskan saja untuk menunggunya.
***
“Maaf ya tadi udah terlambat.”
Ujarnya memelas. Aku tak bergeming. Tetap menatap lurus tajam ke depan sambil
terus mengayuh sepedaku. “Kok diem sih. Marah ya?” ujarnya dengan nada lebih
memelas. “Enggak kok.” Jawabku singkat. “Maafin ya. Nanti mau beli apa deh aku
turutin.” Bujuknya. “Gak mau apa-apa.” Jawabku jutek.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tak ada yang mau membuka percakapan,
sampai kami tiba di jalan Bubutan. Disana banyak laki – laki sedang bermain
bola. Mulai dari bapak – bapak sampai anak – anak. Aku sempat ragu untuk
melewati kerumunan orang tersebut. Aku menoleh ke arah laki-laki disampingku
ini. Dia tetap menatap tajam dan lurus kedepan. Aku berusaha tidak
memedulikannya dan meneruskan saja laju sepedaku.
“Hai Neng. Mau kemana
nih?” ujar seorang laki – laki paruh baya. Dia mendekat ke arah sepedaku. Tak pelak,
aku gugup. Tapi semua berubah ketika tiba – tiba dia, lelaki yang menjemputku
tadi, berada disampingku dan menatap tajam ke arah laki – laki paruh baya itu,
dan membuatnya mundur selangkah. Aku bernafas lega. Untung ada dia, pikirku.
“Kalau tau ceritanya begini,
masih mau berangkat sendirian?” tanyanya. Tatapannya tetap lurus kedepan. Dingin.
“Iya aku minta maaf.” ujarku pelan. “Makasih ya udah disini.” Ucapku sambil
menoleh kearahnya. Aku tersenyum, dan menunggunya membalas senyumku. “Aku gak
bisa janji buat jagain kamu terus. Tapi
aku janji. Akan selalu disini, disampingmu.” Ujarnya mantap sambil melempar
senyum kearahku. Tuhan, kumohon
selamanya seindah ini, doaku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar